-->

Renungan Kristen: Lukas 9:22-27 HAL MENGIKUT YESUS



Renungan harian Lukas 9 pasal 22 ayat 27

Pembacaaan Alkitab: Lukas 9:22-27 HAL MENGIKUTI YESUS 

Unit yang kita baca ini didahului oleh suatu unit lain yang mencatat tentang pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah (ayat 20). Pengenalan yang benar akan Yesus akan memimpin orang untuk masuk ke dalam pengenalan yang lebih dalam. Yesus adalah Mesias, demikianlah Petrus mengenalNya. Barulah Ia kemudian menyatakan kepada para muridNya bahwa Mesias itu adalah Mesias yang menderita. Bukan Mesias sebagaimana dimengerti dan diharap-harapkan kedatanganNya oleh bangsa Yahudi pada waktu itu (bahkan sampai sekarang). Mereka memiliki konsep Mesias yang akan membebaskan bangsa mereka dari penjajahan pemerintahan Romawi, menjadi negara terbesar di dunia, di mana seluruh dunia tunduk kepada pemerintahan Sang Mesias, yang memerintah di bumi. Mesias yang diharapkan akan membebaskan mereka dari persoalan serta kebutuhan fisik, sementara Tuhan Yesus mengajarkan Kerajaan Allah yang bukan dari dunia ini. ‘Menciptakan’ Mesias adalah satu kengerian, sekaligus suatu penghujatan!

Maka di sini Yesus Kristus memperkenalkan diriNya sebagai Mesias yang menderita (ayat 22). Inilah versi Mesias yang dikabarkan oleh Sang Mesias sendiri. Konsep ini tidak diberitahukan kepada setiap orang, melainkan hanya kepada mereka yang sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Demikian juga terjadi dalam perjalanan kehidupan kita mengikut Tuhan. Pengenalan kita akan Dia terus berjalan secara progresif, makin lama makin jelas dan makin nyata. Kita mendapatkan gambaran yang semakin utuh. Inilah pertumbuhan kerohanian yang sejati.

Ayat 23 merupakan sebuah ajakan Sang Mesias yang sangat terkenal: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Perhatikan bahwa ajakan ini didahului oleh pemberitahuan sekaligus teladan Yesus untuk terlebih dahulu menderita bagi kita. Kepemimpinan yang sejati berjalan lebih dahulu, baru kemudian mengajak orang lain untuk melakukannya. Seorang penafsir menyatakan bahwa gambaran yang dikatakan di sini adalah gambaran dari seseorang yang sedang bepergian (sebagaimana kehidupan kita memang digambarkan Alkitab sebagai perjalan seorang musafir): ada yang kita tinggalkan (yaitu diri), ada beban yang kita bawa (yaitu salib) dan arah yang kita tuju (yaitu Yesus Kristus).

Yang pertama pengikutan berarti penyangkalan diri. Ini bertentangan dengan prinsip yang diajarkan oleh dunia. Bukankah banyak buku mengajarkan tentang self-actualization, self-advancement, self-assertion, self-awareness, self-confidence dan semua self-self yang lain. Sebaliknya firman Tuhan mengajarkan agar kita deny self itu. Semua pengembangan diri yang starting point dari self suatu saat akan hancur, termasuk pembentukan pengenalan akan Allah, pemahaman teologis atau filosofis. Sejak Descartes banyak filsuf yang meneruskan tradisi pemikiran yang dibangun dari pemahaman spekulativ dari self. Dasar yang demikian pada dasarnya rapuh dan tidak tahan uji. Di sini Kristus mengajarkan kita ‘syarat’ mengikut Dia, pertama-tama adalah menyangkal diri, berarti kita harus meninggalkan kehidupan yang sifatnya self-centered, entah itu dalam pengumpulan harta, entah dalam pemikiran atau konsep kita, dalam relasi dengan sesama, bahkan dalam hidup keagamaan.


Baca Juga:




Yang kedua, pengikutan yang sejati disertai dengan ketaatan memikul salib setiap hari. Ini berarti ajakan untuk menderita bersama dengan Kristus. Setiap orang percaya dipanggil untuk menderita bagi Kristus. Ketika seorang percaya berusaha untuk menjalankan firman Tuhan dalam hidupnya sehari-hari, dia pasti mengalami penderitaan oleh karena nama Kristus. Jika hidup kita tidak ada penderitaan semacam itu, itu hanya menunjukkan bahwa kita adalah orang yang berkompromi dengan prinsip-prinsip yang tidak benar yang diajarkan oleh dunia ini, kita mungkin adalah pengikut humanisme yang hanya berusaha untuk menyenangkan (baca: menjilat) setiap orang yang kita jumpai. Hidup yang demikian tidak dapat dipertanggung-jawabkan di hadapan Tuhan. Memikul salib berarti juga bersedia untuk mematikan segala keinginan daging, menyalibkan manusia lama (old self) kita. Perbuatan daging disebut oleh Paulus dalam surat Galatia seperti percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Jika seseorang hidup oleh Roh, maka ia tidak akan menuruti keinginan daging tersebut (Gal 5:16).

Berikutnya, salib yang kita pikul adalah salib kita masing-masing (salibnya), bukan salib Kristus, salib Paulus, Petrus atau salib Pendeta kita. Setiap orang memiliki salibnya masing-masing dan hendaklah setiap orang menguji diri, mengenal salib yang Tuhan percayakan dalam hidupnya dan setia memikulnya sampai mati, tanpa membanding-bandingkan salibnya dengan salib orang lain. Salib adalah penderitaan yang kita tanggung karena kita hidup taat kepada Tuhan. Tidak semua penderitaan yang kita alami dapat disebut salib. Penderitaan yang kita alami karena kesalahan kita sendiri sudah tentu tidak dapat dikatakan sebagai salib. Maka tekanan di sini bukanlah berapa besar penderitaan yang saya telah atau sedang alami, melainkan apakah saya hidup taat kepada Kristus? Kita tidak dapat menciptakan salib kita sendiri, sebab itu adalah hak Tuhan. Bagian kita ialah taat jika Tuhan mengaruniakan hal itu dalam hidup kita.  

Di sini kita juga melihat kaitan yang sangat erat antara penyangkalan diri dan memikul salib. Justru menderita karena nama Kristus adalah sebuah sekolah penyangkalan diri yang paling efektif. Adalah mudah untuk menjadi tenang dan penuh kasih di saat semua orang memuji dan menyukai kita, akan tetapi adakah kasih, sukacita dan damai sejahtera tetap mengalir di saat kita mengalami penderitaan? Bukankah di tengah-tengah penderitaan kita cenderung menjadi egois? Itulah sebabnya penderitaan adalah suatu sekolah yang sangat berharga untuk melatih penyangkalan diri. Yang terakhir dari ayat ini, kata setiap hari. Ini satu prinsip yang penting, yang muncul juga dalam Doa Bapa Kami, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Mengapa pada hari ini, mengapa tidak sekalian saja satu paket berlaku untuk satu tahun? Nanti tahun depan kita baru akan berdoa lagi untuk voucher yang berlaku selama satu tahun lagi. Itu tidak diajarkan oleh Tuhan kita, sebaliknya Dia meminta agar kita berdoa dan juga memikul salib kita setiap hari, agar kita belajar bergantung kepadaNya, agar kita belajar bertekun, agar kita tidak menjadi lemah dan malas. Bukankah seringkali kita melakukan janji komitmen pada saat kebaktian akhir tahun atau tahun baru? Itu memang baik, tapi jangan-jangan kita menjadikan event tersebut untuk memperoleh paket satu tahun tadi dan akhirnya kita harus menyesal dan merasa bersalah pada tahun yang berikutnya karena ternyata komitmen kita gagal setelah kita evaluasi kembali. Mengapa? Bukankah kita memang tulus mengatakannya pada saat itu? Memang, banyak orang mengatakannya dengan tulus dan jujur, sungguh-sungguh pada saat itu, tetapi tulus saja memang tidak cukup, perlu ketulusan yang konsisten. Memikul salib setiap hari berarti sadar bahwa setiap hari kita berkomitmen untuk menderita bagi Yesus.

Baca Juga:

AMSAL 14: 8: "Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik, tetapi orang bebal ditipu oleh kebodohannya."



Yang ketiga, mengikut Yesus. Inilah keunikan penyangkalan diri dalam iman kristen. Agama lain bukannya tidak ada konsep penyangkalan diri, mereka memang memiliki latihan-latihan rohani untuk menyangkal dan menahan nafsu, atau menahan segala keinginan sampai suatu saat tidak memiliki keinginan lagi. Banyak orang yang hidup mengekang dengan suatu disiplin yang tidak kalah dengan banyak orang kristen. Namun dalam kesalehan hidup kristiani, kita menyangkal diri bukan demi penyangkalan itu sendiri, melainkan melalui latihan penyangkalan diri itu kita dapat mengikuti jejak kaki Tuhan kita. Kita meninggalkan suatu tempat, agar kita bisa menuju ke tempat yang lain. Agama-agama hanya mengajarkan orang meninggalkan tempat, tanpa tahu menuju ke mana. Demikian kekristenan bukanlah seperangkat pengajaran mana yang boleh dan mana yang tidak, melainkan meninggalkan kehidupan yang berpusat pada diri, untuk memasuki satu kehidupan yang dikuduskan bagi Yesus. Seorang dosen saya mengajarkan bahwa hidup kudus adalah mengatakan “ya” terhadap kehendak Tuhan, dan karena itu kita berkata “tidak” terhadap dosa. Penyangkalan diri kristiani selalu disertai penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Ayat 24 menyatakan prinsip paradoks yaitu siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, akan kehilangan nyawanya, tetapi siapa yang kehilangan nyawanya karena Yesus, akan menyelamatkannya. Ini tidak ada dalam logika mana pun, kecuali kita percaya ajaran Tuhan Yesus. Seseorang yang kurang harus lebih banyak mengumpulkan agar dia tidak kekurangan, akan tetapi firman Tuhan justru mengajarkan untuk memberi dalam kekurangan dengan demikian kita menyatakan diri sebagai orang yang hidup dalam segala kelimpahan. Demikian juga dalam dunia yang berdosa ini manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya masing-masing, seperti dikatakan “the fittest will survive”. Tetapi Yesus menyatakan kekuatan surgawi dengan menyerahkan, membagi-bagikan diri dan hidupNya bagi orang lain. Semakin kita mencari bagi diri kita sendiri, semakin kita akan kehilangan dan mengalami penderitaan yang tidak ada pahalanya, sebaliknya jika kita mengorbankan hidup kita bagi Yesus, kita justru memiliki hidup dalam segala kepenuhannya.

Ayat 25 Tuhan Yesus memberikan satu argumentasi lagi mengapa mengikut Dia adalah satu pilihan yang terbaik. “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” Orang yang memilih kenikmatan duniawi, akhirnya harus menuai kebinasaan yang kekal. Ayat ini unik karena tidak hanya membandingkan mengikut Yesus dengan kebinasaan, melainkan juga dengan kerugian. Apa maksudnya? Memang banyak orang kristen yang setuju lebih baik kita mengikut Yesus dan memikul salib daripada memperoleh kebinasaan yang kekal. Siapa yang begitu bodoh akan memilih yang kedua? Akan tetapi jika mengikut Yesus merupakan pilihan terhadap satu kerugian yang dialami oleh diri, ya ‘sekedar’ kerugian, bukan kebinasaan kekal, mungkin sebagian orang lebih tertarik untuk memilih yang kedua. Menjadi orang kristen yang ‘wajar-wajar’ saja, jangan terlalu fanatik, apalagi mempersembahkan diri sepenuhnya bagi Tuhan, nanti dipenggal-penggal di Afrika! Ini mengerikan. Lebih baik kita mengikut Tuhan, sembari mencicipi sedikit saja kenikmatan dunia ini, ya ... sedikit kerugian kan tidak apa-apa, mungkin saya tidak akan dipakai luar biasa oleh Tuhan, tapi toh saya juga tidak binasa nantinya. Akan tetapi pengikutan yang demikian tidak dikehendaki oleh Tuhan kita! Tuhan Yesus menantang kita untuk sebuah pengikutan yang radikal (dari akar atau poros hati kita yang terdalam). Mengikut Yesus tetap lebih berharga daripada merugikan diri (yaitu tidak memiliki hidup kerohanian yang kaya).

Ayat 26 Tuhan Yesus memberikan satu peringatan bagi mereka yang malu karena Dia. Apa kaitan antara mengikut Yesus dan merasa malu? Di sini Tuhan Yesus sudah mengatakan bahwa barangsiapa yang mau mengikut Dia akan dipandang hina dan sangat memalukan di mata dunia. Sebagian orang lebih tertarik kepada kemuliaan dunia, dengan demikian merasa malu untuk mengikut Yesus. Tuhan Yesus mengatakan bahwa sesungguhnya siapa yang mengikut Dia akan dimuliakan bersama-sama dengan Dia, karena kelak Ia akan datang dalam segala kemuliaan, kemuliaan tertinggi yang bahkan akan diakui oleh seluruh dunia, namun sudah terlambat! Berbahagia dan berbijaksana, mereka yang dalam hidup yang sekarang ini telah mengetahui dan percaya bahwa Yesus yang menderita dan tergantung di atas kayu salib adalah Yesus yang akan datang dalam segala kemuliaanNya untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.


Ayat 27, ini memang banyak diperdebatkan oleh para penafsir. Ada yang mengaitkan ini dengan peristiwa Pentakosta di mana Roh Kudus turun dan Gereja didirikan. Ada pula yang merujuk kepada penglihatan Yohanes di pulau Patmos, karena di situ dia diperlihatkan akhir jaman, di mana Yesus datang kembali. Ada pula yang mengaitkan ini dengan peristiwa transfigurasi, pemuliaan Yesus di atas gunung pada unit yang berikutnya dari pasal ini. Penafsiran yang ketiga ini mengaitkan penderitaan yang harus ditanggung oleh Kristus dengan kemuliaanNya sebagai Anak Allah yang dipilih oleh Bapa, dan karena itu kita harus mendengarkan Dia (ayat 35). Petrus, Yohanes dan Yakobus menyaksikan peristiwa pemuliaan ini. Penderitaan karena Kristus akan berakhir dengan kemuliaan kekal yang kita terima bersama-sama dengan Dia. Marilah kita mendengarkan Dia yang berkata “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.”


Apa Kata Alkitab Tentang LGBT (Kaum Homoseksual dan Biseksual) Klik >>>>DISINI

RELATED TOPIC

RECOMENDATION FOR YOU

DO NOT MISS THIS

Post a Comment

banner